Showing posts with label Flash Fiction. Show all posts
Showing posts with label Flash Fiction. Show all posts

Jun 18, 2012

Sepanjang Jalan Braga



“Alyanna? Tumben nelpon. Apa kabar?” Suara yang kudengar ini masih sama ketika terakhir kali kami berjumpa. Sudah lama. Aku lupa tepatnya. Suaranya masih renyah. Terdengar selalu riang dan ceria.
“Kamu masih di Bandung kan?” Aku balik bertanya.
“He eh!” Ia mengiyakan.
“Temenin belanja oleh-oleh, please..” Aku lagi malas jalan-jalan sendiri di sini. Terlalu banyak cerita yang terkuak untuk dikenang setiap kususuri sepanjang jalan Braga.

“Oke, tapi aku izin pacarku dulu yaa..” Satu-satunya sahabatku yang menetap di Bandung  dan masih sering mengontakku hanya Alvy. Perkenalanku dengan Alvy berawal dari sebuah komunitas online di Jakarta, di mana kami berdua adalah anggota yang cukup aktif di sana. Alvy, cewek tomboy yang selalu tampil dengan rambut pendeknya ternyata teman yang asyik diajak ngobrol. Saat gathering dengan anggota-anggota komunitas, Alvy selalu punya cerita lucu yang ia jadikan guyonan dan acara kumpul-kumpul pun pasti akan seru. Namun begitu, Alvy tak pernah sedikit pun bercerita tentang kehidupan pribadinya. Siapa dan di mana keluarga besarnya aku tak tahu. Aku hanya tahu Alvy bekerja dan menetap di Bandung. Sesekali ke Jakarta. Sudah. Itu saja. Adalah menjadi hak Alvy untuk mau bercerita atau tidak. Aku juga tak pernah mendesaknya agar mau berbagi cerita. Pertemanan kami mengalir begitu saja, seperti air sungai yang mengikuti ke mana derasnya arus membawanya.

“Alvy? Kita kan udah temenan sejak lama. Masa pacarmu cemburu. Aku kan cewek. Ya gak mungkinlah pacarmu larang!”

Braga memang selalu tak lupa kudatangi setiap kali ke Bandung. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan Braga selalu menarik bagi pecinta wisata kota tua. Walaupun pengaruh modernisasi sudah mulai terasa namun itu tidak menghilangkan keaslian bangunan masa lalu di jalan yang tidak terlalu panjang ini. Dari tempatku berdiri ini, aku melihat Braga Citywalk dengan bangunan arsitektur kuno dengan sentuhan pengaruh modern. Di sana, di salah satu sudut tempat nongkrong yang asyik di Braga, beberapa tahun lalu, aku pernah duduk sambil menikmati secangkir cappuccino. Di hadapanku, waktu itu, ada lelaki yang amat kusayangi—selama lebih dari lima tahun terakhir ini, namun kini rasa itu sedikit demi sedikit aus dikikis kerinduan. Lelaki itu menyesap kopi hitam yang ia pesan sambil sesekali menjelajahi setiap inci wajahku dengan sorot mata tajamnya. Ritual penjelajahannya bukan sekali dua kali ia lakukan. Dan selalu saja membuatku salah tingkah.

Ah! Itu dulu, Alyanna..

Bayangan wajah Adrian menyerang ingatanku tentang Wigar. Sepertinya bayangan itu tidak senang jika sosok lelaki lain hadir menyusup di otakku. Ya wajar, pikirku. Di jari manisku sudah tersemat cincin pemberian Adrian. Ia juga sudah menyatakan keseriusannya. Aku pun sudah pada ketetapan hatiku. Mengakhiri kisah bersama Wigar. Melupakannya. Dan memulai babak baru bersama Adrian. Demikian.

Tapi ternyata tak semudah itu, Alyanna..

“Aku udah di Braga nih. Kamu di mana?”
“Aku di Braga Citywalk. Aku tunggu di sini yaa..”
“Oke”

Beberapa menit kemudian, sosok wanita rambut pendek, yang mengenakan kaos oblong, dan jeans sebagai pakaian kebesarannya telah hadir di depanku. Alvy mengulurkan tangannya. Kami bersalaman. Lalu kudekatkan pipiku ke pipinya. Cium pipi kanan, cium pipi kiri.
“Yuk. Temenin aku belanja. Eh tapi kita makan dulu deh. Aku yang traktir. Kamu pasti belum makan, kan?”
“Sip. Tapi aku gak bisa lama-lama ya. Ada janjian sama pacar sore nanti.”
***
“Vy, sini deh. Ada itu tuh, di dagu kamu.” Aku meraih tissue dan mengusapkan ke dagu Alvy akibat saus spaghetti yang menempel di dagu lancipnya.
“Biar saya aja.” Alvy menolak dengan halus dan mengambil alih tissue dari tanganku.
Beberapa detik setelah kejadian itu, kudengar langkah seseorang mendekat ke arah kami. Semakin dekat, langkah itu semakin dipercepat. Belum sempat aku menoleh, kurasakan rambutku ditarik. Dijambak.
“Awww!”
“Kurang ajar kamu ya! Alvy itu pacarku. Dan aku pacarnya Alvy. Jangan ganggu-ganggu dia lagi. Kalau enggak, kamu akan tanggung sendiri resikonya!”

Kubenahi rambutku yang baru saja ia lepaskan. Tangan yang tadi menarik rambutku kulihat putih, mulus. Pemiliknya adalah wanita cantik, berambut panjang, hidung mancung. Mengenakan setelan busana kerja dengan high heels yang memperjelas mulusnya kaki jenjangnya. Aku tak kenal siapa dia. Tapi dari pengakuan wanita girly itu, aku baru tahu kalau ternyata wanita itu adalah kekasih Alvy.

Jun 16, 2012

Jingga di Ujung Senja



Meeting tadi berjalan lancar pak. Laporannya sudah saya kirim ke email bapak.”
“Baiklah, Alyanna. Besok kita ketemu di Medan ya..”

Kutekan tombol bergambar gagang telepon warna merah. Setelah melapor kepada atasanku di kantor, aku merasa mampu menghela napas lebih lega, setidaknya di penghujung senja hingga sisa hari yang kulalui di kota ini, sebelum besok kulanjutkan perjalanan dinasku ke beberapa kota, sepekan ini.

Setiap orang butuh waktu untuk sendiri.

Aku pun. Di jembatan yang telah menjadi lambang kota Palembang ini, kini aku. Menikmati jingga di ujung senja yang baru pertama kali kutemui di kota ini. Sebuah meeting menggiringku ke kota ini. Pertemuan dengan rekan bisnis yang seharusnya dihadiri oleh atasanku tadi pagi. Lekat-lekat kuamati cincin yang melingkar di jari manisku. Cincin berlian yang kuterima dari lelaki yang berhasil mencipta jutaan cinta dariku untuknya. Cincin yang serupa kusematkan di jari manisnya saat itu, sebenarnya ia sendiri yang menyiapkan semuanya, menyiapkan kejutan demi kejutan untukku.

Matahari sebentar lagi hilang tertelan Sungai Musi. Senja ini kian menjingga di sepanjang jembatan Ampera. Sebentar lagi sensasi senja akan berganti dengan tautan gelap malam di semesta. Aku merasakan ada mata yang mengintaiku. Aku menoleh dan kuarahkan pandang ke sepanjang jembatan yang membelah sungai musi. Lampu-lampu yang siap menghiasi Ampera di malam hari mulai dinyalakan, semakin menambah jingga senja ini. Tiba-tiba kurasakan bahuku ditepuk halus oleh tangan lembut.

“Alyanna kan?” pemilik tangan lembut itu menegurku. Suara wanita.
“Hai, ma.. maaf aku lupa. Siapa ya?”
“Aku Widya. Kakaknya Wigar. Kamu pacarnya kan?”

Oh Tuhan! Selama pacaran lebih dari lima tahun dengan pria itu, aku sama sekali tidak pernah tahu kalau Wigar punya kakak perempuan bernama Widya. Kuamati wanita jangkung ini dari ujung rambut sampai ujung kaki, kaos yang ia kenakan agak kebesaran, jeans, dan sepatu bootnya memberi kesan maskulin pada dirinya. Hidung mancungnya memang serupa dengan hidung kepunyaan Wigar. Senyum ramahnya juga mirip. Ya, aku bisa percaya jika wanita itu memang saudara kandung Wigar. Sementara mataku menjelajahi sosok wanita di hadapanku ini, otakku pun turut bekerja, mencari tahu dari mana Widya mengenaliku sebagai pacar Wigar.

“Hmm.. Aku pernah liat fotomu di hp Wigar.” Widya memecah rasa penasaranku.
“Ow..” Aku speechless jadinya. Bibirku menyunggingkan senyum.
“Sedang apa di sini, Al? Bukannya kamu menetap di Jakarta, kan?”
“Aku kebetulan ada tugas dari kantor, Mbak. Tapi besok juga udah balik kok. Mbak Widya tinggal di sini ya?”
“Ya. Ikut suami.”

Di saat aku ingin memulai hari-hari tanpa nama Wigar di kepala dan hatiku, mengapa datang lagi orang yang mengingatkanku tentangnya? Orang yang tak terduga pula datangnya! Ah!

Jingga mengantarkan gundah di ujung senja. Sementara pengunjung jembatan ampera kian ramai dengan senda gurau masing-masing dengan sungai musi sebagai saksi mereka, lampu-lampu yang menghias sepanjang jembatan ampera kurasakan semakin menyorot gundahku di hadapan wanita ini.

“Kapan rencana kalian ke arah yang lebih serius?”

Hei! Kenapa jadi kayak wartawan infotainment yang menodong selebriti dengan pertanyaan menusuk seperti itu? Aku harus jawab apa? Apa aku harus bilang: No comment, seperti selebriti yang sedang tidak ingin dicecar pertanyaan seperti itu? Atau aku harus jujur dengan kerenggangan yang terjadi dan kerinduan yang tak mampu kompromi akan rentang jarak yang membentang?

Jun 14, 2012

Pagi Kuning Keemasan


Sinar matahari pagi baru saja muncul dari peraduannya  setelah semalam penuh berganti posisi dengan rembulan. Megahnya langit pagi ini pun seperti mengucapkan selamat datang kepada kami yang baru saja tiba di pulau kecil nan eksotis ini. Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan dengan mengendarai perahu boat yang disewa Adrian khusus untuk kami berdua, tibalah aku dan Adrian dengan decak kagum karena disambut dengan pemandangan pepohonan, butir - butir pasir putih, warna biru kehijauan hamparan laut, suasana pagi kuning keemasan dan juga mercusuar yang menjulang tinggi, sungguh potret pulau kecil yang indah.

“Kamu memang paling bisa ya!” aku mencubit pinggang Adrian, setengah tak percaya atas apa yang terhampar di hadapanku saat ini. Takjub! Beberapa hari lalu secara mengejutkan Adrian menyusulku ke Bukittinggi. Setelah itu Adrian mengajak ke Belitung. Dan subuh tadi aku telah melewati perjalanan laut dan sekarang, aku berdiri tepat di hadapan mercusuar di pulau Lengkuas.

“Iya dong! Naik ke mercusuar yuk. Di sana pasti lebih indah!” ajak Adrian sambil menarik tanganku lalu berlari kecil mendekati seorang petugas. Setelah mendapat izin dari bapak itu, kami akhirnya bisa menaiki mercusuar dan aku masih saja dalam perasaan setengah tak percaya.



Wigar tak pernah memanjakan hubungan kami seperti cara Adrian ini. Wigar tak pernah membumbui hubungan kami dengan romantisme seperti ini.
Di kepalaku kenapa tiba-tiba muncul nama Wigar lagi? Bukannya aku sudah memantapkan hati untuk menatap hari-hari ke depan tanpa dia?

“Kamu gak senang ya, aku ajak ke sini?” Adrian membuyarkan lamunanku.
“Seneng kok! Seneng banget malah. Sampe speechless!” Aku harus membuang jauh-jauh wajah Wigar dari bayanganku. Apalagi saat Adrian sudah mulai menjelajahi bibirku dengan pagutan bibirnya. Kupejamkan mataku. Getaran hangat mengaliri sekujur tubuhku. Tak dapat kupungkiri, akupun menikmatinya. Saat perlahan kubuka mataku dan hendak menjauhkan tubuhku dari pelukan Adrian, lelaki di hadapanku itu kembali menangkap tubuhku dan.. sial! Semakin aku berniat membuang jauh-jauh wajah Wigar, ia menjelma dalam sosok bernama Adrian!

Adrian meraih sesuatu dari dalam ranselnya, “Al, tutup mata dulu ya..”
“Untuk apa?”
“Aku mau kasih sesuatu buat kamu.”

Sehelai saputangan kini menutupi mataku yang diikat erat oleh Adrian. Aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa. Adrian menggenggam tanganku, menuntunku berjalan entah ke mana.
“Kita mau ke mana sih?” aku sungguh dibuat penasaran oleh lelaki ini.
“Sabar, sabar.. ntar juga tau kok!”

Kini kurasakan langkah kakiku menuruni anak tangga. Perlahan, sambil terus dituntun oleh tangan lembut lelaki ini. Adrian akan membawaku ke mana ya? Adrian punya kejutan apa lagi untukku? Ah, Adrian memang lelaki dengan sejuta ide kejutan. Atau aku kegeeran ya?
Kini sekujur tubuhku kurasakan hangat, kupastikan itu adalah berkat sinar matahari pagi yang menerpa kulitku. Kakiku sesekali diterpa halusnya butiran-butiran pasir yang menempel di sandal yang kukenakan.

“Kita mau ke mana sih? Capek tauk!” keluhku sambil melepaskan genggaman tangan Adrian, lalu berhenti berjalan.

“Ayolah, Al.. Bentar lagi sampai kok,” ujar Adrian setengah menarik tanganku. Aku pasrah. Menurut saja ke mana Adrian akan membawaku. Setelah beberapa langkah, kakiku mulai basah. Semakin melangkah, kurasa air sudah selutut.
Adrian membuka saputangan yang sedari tadi menutupi mataku. Kukejap-kejapkan mataku, aku berada di tengah laut Belitung yang begitu bening.

“Ambil kotak itu, lalu bukalah, Al..” perintah Adrian sambil menyerahkan sebuah kunci.
Kuraih kotak kayu yang tenggelam di dasar laut tepat di depan kakiku ini. Riak ombak sesekali menerpa, namun kuabaikan. Karena aku sudah tak sabar membuka gemboknya dengan kunci yang diberikan Adrian tadi. Setelah berhasil melepaskan gemboknya, sebuah kotak yang lebih kecil berwarna putih terlihat mengilap dari dalam kotak kayu. Tanpa pikir panjang lagi, kuraih kotak putih berbentuk hati itu.

Di dalamnya kutemui dua buah cincin berlian. Oh, Tuhan!

Jun 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau


Kuhirup udara sore yang cerah ini. Kukumpulkan oksigen sebanyak mungkin yang mampu ditampung paru-paruku. Kutahan sejenak, lalu kuhembuskan perlahan sambil terus mengamati tiap sudut di taman ini. Setiap berkunjung ke kota ini, aku tak pernah lupa untuk mampir ke sini. Berdiri tepat di bawah jam gadang, atau duduk di salah satu sudut taman. Sebenarnya bukan mampir, tapi memang menyempatkan diri untuk datang.


Kali ini aku memilih duduk sambil kuamati satu-satu pengunjung taman di sekitar jam gadang ini. Jam besar dengan tinggi 26 meter ini memang menjadi ikon kota Bukittinggi yang selalu menarik banyak orang untuk berkunjung ke sini. Ada ibu dan seorang anak yang sedang berfoto bersama badut. Ada juga sepasang remaja yang saling mengadu pandang satu sama lain. Entah mereka sedang berbincang tentang apa. Yang aku tahu, mereka tampak mesra. Terlihat pula beberapa orang berjalan menuju ke tujuannya masing-masing. Entah ke mana. Di hari kerja seperti ini memang tak seramai hari libur. Namun menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat ini seperti tak peduli ramai tidaknya orang di sekelilingnya. Ia tetap kokoh, teguh, tegap, memberi petunjuk waktu.

Seperti itu pula kau. Selalu tak peduli dengan kejenuhanku. Selalu tak mau tahu, bahwa aku bosan dengan rindu. Entah apa yang ada di benakmu saat kau mempertahankan hubungan jarak jauh yang begitu membosankan ini.

“Pokoknya kita tetap harus bersama, Al. Sabarlah menunggu sampai hari bahagia itu tiba. Aku pasti akan datang melamarmu. Karena aku masih dan tetap mencintaimu, Alyanna!” Ujarmu meyakinkanku lewat telepon saat berkali-kali aku mencoba mengakhiri hubungan kita. Ya, aku memang sudah merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Aku bolak balik Padang – Makassar. Sementara kau? Kita sudah hampir setahun tak bertemu sejak kau menjalani bisnismu di Gorontalo.

Mungkin kau terlalu sibuk dengan usaha yang baru kau rintis, namun gejolak rinduku sudah cukup lama kau belenggu, Wigar!

Kutekan tombol bergambar gagang telepon berwarna merah. Aku tak sanggup mendengar lebih lama lagi suara Wigar. Aku benci mendengar kata-kata cinta dan sejuta janji dari Wigar. Karena aku sendiri tidak yakin dengan semua itu. Aku juga benci ketidakmampuanku berbicara jujur. Ya, aku masih belum mampu mengatakan pada Wigar jika sebenarnya ada Adrian yang selalu membuatku nyaman akhir-akhir ini. Teman kelasku semasa SMP yang kutemui saat reuni beberapa waktu lalu. Lelaki dengan pesona yang mampu menggetarkan sekujur tubuhku. Aku selalu merasa seperti ada balon udara yang menerbangkanku menikmati keindahan rasa saat bersama Adrian. Adrian selalu berhasil menciptakan degupan kencang di jantungku. Sesuatu yang sudah lama tak kutemui dengan Wigar.

Dilema. Seperti tangisan anak kecil di taman jam gadang yang minta dibelikan permen namun tak diberi oleh ibunya. Seperti dentang jam gadang dari keempat sisi yang berbeda. Seperti hendak membelah diri ini menjadi dua bagian. Satu bagian untuk mengikuti kehendak Wigar. Satu lagi untukku sendiri di zona yang membuatku nyaman.

Jam gadang menunjukkan pukul 17.30 ketika jingga perlahan mulai menghiasi langit Bukittinggi. Aku masih di sini, mencoba untuk mengumpulkan lagi kemampuanku untuk bisa jujur pada Wigar. Aku menengadahkan kepalaku. Mungkin langit sore punya jawabnya. Atau gumpalan awan akan membisikiku tipsnya. Mungkin sinar matahari yang sebentar lagi tenggelam akan memberi tahuku cara terbaik yang harus aku lakukan. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Kuharap ada ketenangan di sana. Namun ternyata tidak. Yang ada hanya gelap dan kegelisahan yang kian buncah.

Tiba-tiba smartphone-ku berdering lagi setelah. Ada nama Wigar lagi yang berkedip-kedip dari layar lebar itu. Kali ini aku harus jujur. Siap atau tidak, Wigar harus memberiku lampu hijau. Lampu hijau untukku bisa melaju ke masa depanku tanpa Wigar. Harus!

Flash Fiction ini diikutkan dalam #15HariNgeblogFF2

May 30, 2012

Reuni


Cinta datangnya kadang dari penjuru yang tak terduga. Bukan cinta yang buta, tapi hadirnya yang kadang membutakan logika. Apakah Alyanna juga seperti ini sekarang? Alyanna mencintai Wigar. Dulu. Setelah ia berhenti bekerja di perusahaan coklat di Makassar dan pindah ke Surabaya—untuk memulai usaha Wedding Organizer-nya, cinta itu lambat laun pupus. Tak pernah Alyanna menyadari kapan rasa itu benar-benar hilang. Yang pasti, yang benar-benar  ia sadari kini adalah pesona Adrian sejak SMP hingga kini ternyata masih menggetarkan segenap rasanya.
Dalam ingatan Alyanna, terakhir kali ia bertemu Adrian adalah saat sekolah mereka mengadakan acara perpisahan untuk siswa yang akan tamat. Saat itu Alyanna hanya bisa melihat dari jauh sosok Adrian—yang diidolakan banyak siswi di sekolah—mempertunjukkan kemampuannya dalam bernyanyi sambil memetik gitar. Suara merdunya, petikan gitarnya yang semakin memperjelas betapa mempesonanya ia. Sementara Alyanna, seorang siswi yang hanya selalu berada di zona aman. Siswi yang biasa-biasa saja. Tak begitu cantik, tak begitu cerdas, tak ada hal yang begitu mengagumkan dalam dirinya saat itu.
Alyanna sangat terkejut ketika bertemu lagi dengan Ryan di sebuah reuni kecil-kecilan yang dibuat oleh teman seangkatan mereka di SMP dulu. Acara di sebuah kafe di Makassar itu mempertemukan Alyanna dengan teman-teman lamanya. Ia baru tahu kalau Anton, penggagas reuni ini telah menjadi guru olahraga di SMP mereka sekolah dulu. Regina, siswi yang terkenal punya banyak pacar dulu, kini memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dengan tiga anak yang ia ajak serta saat reuni. Irvan punya salon kecantikan, tampaknya ia menekuni bisnis yang sesuai dengan hobinya—saat sekolah dulu ia sangat hobi mengomentari jerawat Alyanna dan memberi saran produk kecantikan yang cocok untuk ia gunakan. Dan Adrian. Idola semasa SMP ini masih memancarkan pesonanya—terkhusus buat Alyanna.
”Alya beda banget ya sekarang. Dia makin cantik..” puji Adrian pada Alyanna di hadapan banyak teman yang lain. Wajah Alyanna merah, tersipu. Ia merasakan setiap pasang mata yang hadir di reuni kecil ini tertuju padanya.
”Iya, dulu dia culun banget. Hahahaha” Regina dan teman lain menertawai Alyanna. Dalam hati Alyanna akui, dulu memang ia selalu mengenakan seragam yang kebesaran, kacamata ukuran minus dua dengan lebar hampir memenuhi separuh wajahnya, rambut yang ikal selalu diikat agar tak terbang ke mana-mana—sebenarnya karena ia tidak percaya diri melihat rambut teman-teman lain yang lurus seperti di iklan-iklan sampo sementara Alyanna tidak. Tapi sekarang tidak lagi. Kacamata itu sudah ia ganti dengan kontak lens, rambutnya sudah lurus berkat rebonding, dan pilihan busana, aksesoris, dan alas kaki yang sering ia kenakan sekarang berkat hobinya membaca majalah fashion. Dan hasilnya? Adrian meminta nomor handphone Alyanna. Adrian pun memberi kartu namanya. Wow.. General Manager di sebuah perusahaan properti—jiwa Alyanna semakin  terpesona. Tampan dan mapan, juga perhatian!
Selepas reuni malam itu, Adrian menawarkan diri untuk mengantar Alyanna pulang ke rumah. Di antara yang hadir di acara itu, memang hanya Alyanna dan Adrian yang belum menikah. Beberapa teman juga meledek mereka. Ah, Alyanna tak peduli. Saat itu dalam benak Alyanna adalah apa kalimat yang tepat untuk menerima tawaran Adrian tadi?
”Ti.. Tidak merepotkan?” tanya Alyanna ragu-ragu saat berada di parkiran kafe di samping captiva milik Adrian.
”Tentu tidak. Untuk wanita secantik dirimu, tak ada yang membuatku repot.” Seperti ada balon udara yang menerbangkan Alyanna menikmati keindahan rasa. Ini gombalan. Aku tahu itu. Tapi gombalan ini berhasil menciptakan degupan kencang di jantung Alyanna. Alyanna terdiam menikmati degup itu ketika senyuman lelaki di hadapannya itu mekar dari bibirnya. Giginya yang rapih tampak berkilau dari balik senyuman itu.
”Tunggu apa lagi? Ayo naik!” Adrian membuka pintu captiva-nya. Alyanna tersontak kaget—lagi-lagi. Mungkin Adrian melihat tingkah anehnya itu.  Alyanna masuk ke dalam mobilnya, pura-pura bersikap wajar. Padahal sebenarnya ia masih terus berusaha menenangkan degup jantungnya yang gejolaknya seperti mendesak keluar. Tak lama kemudian, Adrian sudah duduk di sampingnya—di belakang kemudi. Di sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang reuni tadi. Tentang teman-teman mereka yang sudah lama tak pernah saling berkomunikasi, apalagi bertemu, tentang teman-teman mereka yang sudah sukses dengan pekerjaannya masing-masing, dan masih banyak lagi.  Ah, rasa nyaman bersama Adrian ini sudah lama tak kudapatkan dari kekasihku—Wigar.
”Kau membuatku tak bisa tidur malam ini,” Adrian menggenggam tangan Alyanna sesaat setelah menghentikan mobilnya tepat di depan rumahnya. Alyanna berusaha melepaskan genggaman itu, tiba-tiba rasa bersalah menyerangnya. Ia merasa telah mengkhianati Wigar. Bukankah Wigar telah berjanji untuk menikahi Alyanna tahun ini? Bukankah mereka saling mencintai selama 5 tahun terakhir ini? Tapi genggaman tangan itu terlalu erat untuk Alyanna lepaskan. Ia merelakan tangannya digenggam oleh jari-jemari Adrian.

”Ah, kau ini..” ucap Alyanna manja. Singkat. Ia takut salah ucap.
”Kecuali kalau kau besedia memejamkan matamu sesaat,” Adrian memiringkan tubuhnya ke arah Alyanna.
”Untuk apa?” Alyanna merasa aneh.
”Ayolah,” pinta Adrian. Alyanna menurut. Tiba-tiba saja ia merasakan ada yang lembut menempel di bibirnya yang merah merekah. Gemetar dari rambut sampai ujung kaki Alyanna. Ia membuka matanya perlahan. Bibir Adrian tepat berada di atas bibir Alyanna. Wajah lelaki itu telah berada tepat di depan wajah Alyanna. Nafas mereka saling memburu, aroma tubuh mereka beradu. Dan Alyanna merasakan rongga hidungnya telah semakin terisi dengan wangi tubuh lelaki yang berjarak hanya beberapa milimeter dari tubuhnya. Sorot mata Adrian menembus dalam manik mata Alyanna. Alyanna memejamkan matanya. Ada wajah Wigar di otak Alyanna.
”Maafkan aku, Gar..” Alyanna membatin.
Adrian menjauhkan tubuhnya perlahan dari Alyanna. Sesuatu yang mungkin bernama getaran mengaliri sekujur tubuh Alyanna saat ia menjilati bibirnya sendiri dan ia nikmati sisa ciuman Adrian tadi. Dahsyat. Sungguh dahsyatnya luar biasa membius Alyanna yang telah lama terpesona oleh sosoknya. Seseorang yang dengan tatap matanya yang tajam, seolah melucuti segenap pikirannya yang terlampau nyaman saat berada di dekatnya.
Sementara itu, ia  merasa semakin jauh dari Wigar. Komunikasi di antara mereka kurang. Bahkan jarang. Alyanna tak mampu bertahan dalam hubungan jarak jauh ini. Alyanna butuh bercerita banyak hal pada kekasihnya, ingin melakukan banyak hal  bersama lelaki yang dicintainya, kerinduan Alyanna untuk dimanja semakin bertumpuk, lalu di mana Wigar saat ia butuh semua itu?
Adrian memang tak tahu, kalau saat ini Alyanna masih sah menjadi kekasih Wigar selamat lima tahun ini. Bahkan Adrian tak kenal sama sekali, siapa Wigar. Adrian datang dan memenuhi relung hati Alyanna yang lama kosong walau secara komitmen, hatinya  dan Wigar masih bertaut. Adrian datang di saat Alyanna merindukan kasih sayang seseorang.
Sejak pertemuan mereka malam itu, Adrian semakin sering menemui Alyanna. Mereka sering mengnikmati makan siang bersama kemudian mengantar Alyanna kembali ke kantor. Akhir pekan ini ia mengajak Alyanna menonton di bioskop, ah, Adrian selalu hadir menemani Alyanna saat senang, sedih, marah, dan saat Alyanna memang sedang membutuhkannya. Hal ini yang tak ia peroleh dari Wigar karena Alyanna di Makassar, sedang Wigar di Surabaya.
Kebingungan menyerang Alyanna. Sejak beberapa minggu ini, Adrian semakin intensif hadir di hari-hari Alyanna. Tak hanya secara fisik, jiwanya pun merasa nyaman berada di dekat Adrian. Namun sialnya, Alyanna belum menemukan kalimat tepat untuk menyudahi komitmen bersama Wigar. Semudah itukah? Alyanna merasa hubungannya dengan Wigar yang dingin ini wajib segera diakhiri. Ia tak lagi merasakan gejolak yang dulu begitu dahsyat ketika bersama Wigar. Alyanna adalah wanita yang tak kuat menahan rindu. Hatinya merasa tidak mampu meneruskan hubungan dengan rentang jarak yang terlampau jauh ini.

Malam minggu ini mereka habiskan di rumah Adrian. Alyanna baru pertama kali ke sana. Rumah kecil dengan konsep modern minimalis. Alyanna bisa melihat, di ruang tamu ada sofa dan meja serta tv di depannya. Ada rak buku sebagai pembatas antara ruang tamu dengan ruangan di sebelahnya. Disana ada meja dan kursi makan serta kitchen set. Alyanna menawarkan untuk membuatkannya spaghetti—makanan favoritnya—untuk makan malam. Ia mengangguk tanda setuju. Setelah spagheti itu siap, mereka memilih menikmatinya di ruang tamu sambil menonton ulang  film Titanic di DVD. Mereka menonton film sambil saling suap spaghetti buatan Alyanna. Tibalah adegan ketika Jack menarik Rose ke tempat sepi di bawah menara pengawas kapal untuk berciuman membuat mata Alyanna dan Adrian saling tatap. Adrian mengarahkan piring spaghetti di tangan Alyanna untuk diletakkan di meja. Tangannya melingkar di pinggang Alyanna. Wajah mereka semakin tak berjarak. Perlahan, bibir Adrian yang masih ada sisa saus spaghetti mendekat ke arah wanita berkulit bersih di sampingnya.


”Aku ingin memilikimu..,” ujar Adrian setelah melumat bibir Alyanna.
Bibir Alyanna basah. Dan tak mampu berkata apa-apa. Hening. Hanya degup jantung mereka beradu saat Adrian memeluk tubuhnya erat. Alyanna tahu ia sedang menanti kata cinta dari bibirnya yang ia kulum, lagi dan lagi. Di kepalanya, ada wajah Wigar menari-nari dengan senyuman. Ada dilema memenuhi seluruh massa otaknya..

Apr 10, 2012

Cassandra..


Dua malam ini kuhabiskan bersama Bamma. Ya, longweekend kali ini kami berdua—layaknya pasangan yang sedang berbulan madu, memilih menebus kerinduan kami di hotel bintang lima tepat di seberang Soriano Trattoria yang ramai itu. Sejak kulahirkan dan kubesarkan Casssandra sendiri—tanpa ayah, kesendirianku itu kubunuh dengan bergelut di komunitas kaum jetset. Dulu aku hanya bisa menangisi kenyataan bahwa suamiku adalah penggemar wanita-wanita muda. Dengan kesuksesannya dalam mengelola perusahaan IT miliknya, ia mampu membayar wanita-wanita itu untuk memuaskan hasratnya. Tinggal pilih, model, artis, atau siapa pun yang ia inginkan. Walau aku sebenarnya tak cinta pada suamiku itu, tapi nista yang ia sodorkan padaku wajib kubalas dengan nista juga!

Ketika aku bertemu sahabatku Adel bersama kekasihnya—tepatnya brondongnya, Randy. Dari Randy, aku diperkenalkan dengan Dyto. Sejak bertemu Dyto itulah, aku bisa melupakan tabiat suamiku.

Tapi itu dulu, sekian tahun yang lalu. Entah sudah berapa kali aku gonta-ganti pasangan. Saat ini, aku punya banyak stok brondong yang jadi model di perusahaan iklan tempatku bekerja. Seperti dua malam ini. Bamma—lelaki tampan dengan tubuh jangkung, tegap, mata coklat, dan senyumannya yang selalu menawan itu, tahu bagaimana mencintaiku. Tak peduli ia hanya butuh duitku atau apapun alasannya, tapi aku menikmati setiap ciuman, belaian, dan Bamma selalu tahu bagaimana memuaskan dahaga cintaku.

“Aku laper, honey!” ujarku sesaat setelah kami berpagutan, dan melakukan silatan-silatan lidah yang dahsyat di sisi jendela hotel.
Okay, sweety. Tampaknya pizza di trattoria itu patut kita coba,” Bamma menunjuk restoran Italia di seberang hotel tempat kami menginap.

Tak perlu waktu lama, kami telah tiba di depan Soriano Trattoria ini. Denting lonceng yang dipasang di pintu masuk restoran ini, menyambut kedatangan kami. Ramai pengunjung di sini. Namun mataku tak sempat beredar di sekeliling restoran ketika pemandangan itu kusaksikan. Bamma yang sedari tadi kugandeng tangannya, melepas gandengan tanganku demi meraih tangan seorang wanita—tampaknya aku mengenalinya. Putriku.

“Cassandra…”
“Sejak kecil aku selalu menangis karena mama. Mama yang tidak pernah ada untukku. Mama yang harusnya mengajarkan aku tentang cinta dan kasih sayang tetapi malah sibuk mengumbar diri dari pria muda ke pria muda lainnya. Tapi kali ini, ma, ini luka paling dalam yang pernah mama kasih ke aku,” mataku berkaca-kaca mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Cassandra. Ia berlalu meninggalkan trattoria ini.

Ada hubungan apa di antara Cassandra dan Bamma?
Batinku bergejolak. Kutarik tangan Bamma dan kuseret ia ke meja kosong di pojok trattoria ini. Tak kupedulikan pengunjung lain yang sedang ramai. Pramusaji yang mondar-mandir di dekatku pun kuabaikan.

“Maafkan aku, sweety.. Aku benar-benar gak tahu kalo Sandy ituu..”
“Cukup!” aku berteriak memotong perkataan Bamma. Bamma mencoba merayuku dengan mendekatkan bibirnya ke telingaku. Membisikkan rayuan yang selalu menggetarkanku. Rayuan yang selalu membiuskan aroma indah. Tapi kali ini aku tak bergeming. Gigiku gemeretak, panas di dada hendak kuluapkan kemarahanku di sini. Andai saja ini  bukan restoran, sudah kulabrak Bamma.

Kupanggil pramusaji, aku memesan red wine.

Berselang beberapa menit, pesananku datang. Buru-buru kutenggak red wine itu, sementara Bamma tak henti-hentinya membisikkan permohonan maaf kepadaku. Aku terlanjur geram. Aku berdiri di depan Bamma.

“Pergi kau! Jangan pernah lagi berani menampakkan diri di hadapanku!”

Aku Cinta Kamu, Raina!


Trovommi Amor del tutto disarmato
et aperta la via per gli occhi al core,
che di lagrime son fatti uscio et varco.

Sebait soneta yang  terpampang di dinding Soriano Trattoria menyambut siapa saja yang masuk ke restoran ini. Kuedarkan pandanganku, kutemui seorang lelaki dengan senyum yang segar. Mungkin ia adalah pemilik restoran ini. Seorang pramusaji yang sedang mengantarkan lasagna pada wanita yang duduk di sudut sana. Di sudut yang lain, mataku tertumpu pada seseorang yang sedang melekatkan telepon genggam di telinganya. Ia sedang berbicara di telepon. Segera kuhampiri wanita yang mengenakan blouse warna biru gelap itu.

“Rae, kamu udah lama nunggu aku?”

“Enggak kok. Kru pemotretan udah siap semua?” Ia mengakhiri teleponnya, lalu tersenyum padaku. Kuletakkan tas berisi kamera di sofa tepat di depan tempat Raina duduk. Lalu kuhempaskan badanku di samping tas selempang itu duduk.

“Yang lain masih di jalan. Bagaimana kalau kita makan saja dulu? Aku lapar nih..” ucapku sambil mengelus perut yang sedari tadi tak kuat berkompromi dengan aroma bumbu khas Italia yang berbau tajam. Raina yang sudah menghabiskan seporsi lasagna bersedia menemaniku dengan memesan kopi espresso saja. Aku memilih pasta primavera dan Chianti—anggur merah vintage asal Tuscany.

Tak lama, pramusaji datang membawa pesanan kami. Dengan lahap kuhabiskan pastaku. Kuamati Raina yang tampak tak bernafsu menghabiskan fettucine-nya. Ia hanya memain-mainkan isi piring di hadapannya itu dengan garpu. Mataku menangkap bekas luka di pergelangan tangannya.

“Tanganmu kenapa, Rae?” tanganku menarik tangan Raina yang hendak ia sembunyikan di balik meja.

“Eng.. Enggak kenapa-kenapa, kok, Nang..” Aku mencoba mempertemukan mataku dengan mata indah Raina. Namun ia menunduk. Ada sebutir cairan bening menetes dari sudut matanya.

Hening.

Kuhirup sebanyak-banyaknya oksigen yang mampu ditampung oleh paru-paruku. Aroma minyak zaitun, kayu manis, pala, cengkih, basil, dan mozzarella, berebut tempat untuk masuk ke rongga hidungku. Raina masih membisu. Aku tak berani bertanya lebih jauh tentang bekas luka di dekat urat nadinya itu. Aku memang sama-sama bekerja dengan Raina di sebuah majalah fashion. Namun introvert-nya membuatku hanya mengenal Raina sebatas profesionalisme kerja semata. Pekerjaan inilah yang mempertemukanku hampir setiap hari dengannya. Selanjutnya ia lebih banyak diam dan lebih senang menjadi pendengar lelucon-leluconku. Namun aku diam-diam mengaguminya. Setiap kuabadikan gambarnya dengan hasil jepretanku, di sana ada desir hebat yang bergetar. Entah apa! Yang pasti, gelora itu selalu ingin kuulangi, lagi, dan lagi, setiap ku lihat ia selalu tampil cantik, menarik, dengan tatapan mata yang hangat dan nyaris sempurna! Seperti chianti yang kuteguk ini. Selalu sempurna memberi kehangatan untuk tubuhku.

Selama ini, aku hanya menikmati wajah ayu Raina dari balik lensa kameraku. Senyumnya yang misterius, sorot mata ibarat anak panah yang sulit untuk kutebak akan melesat ke mana. Tapi kali ini aku tak peduli pada keramaian trattoria ini. Aku beranjak dari sofaku, pindah ke sisi kanan Raina. Kugenggam tangannya. Tanganku yang satu lagi, kuarahkan ke dagunya agar wajahnya terangkat dan mata kami pun beradu. Selanjutnya, kudaratkan kecupan singkat di keningmu. Raina pasti merasa basah bibirku sisa chianti yang kuminum tadi.

“Aku mencintaimu, Rae..” 

Oct 9, 2011

Cinta Sejati..


Berawal dari mata. Tak kusangka ia merambat hingga lamat-lamat mengisi setiap desir darahku. Malam ini, kau datang lagi. Saat mataku hampir pejam. Saat tidurku hampir datang. Pun, saat mimpi-mimpi indah itu hinggap. Senyummu, mengisi seluruh ruang menjadi indah; termasuk mimpi. Malam ini, suara Yohanes Satrya menemani kantukku. 
Sumber: google.co.id

dekaplah diriku oh kasihku
jangan kau pergi
ku ingin kau selalu di sisiku
jangan kau berpaling

bawalah diriku oh kasih
tuk menggapai cinta sejatimu
percayalah hanya dirimu
yang selalu ada di hatiku selalu



Ah, akupun tak mampu menghalau datangmu. Ketika kau rangkul, kau peluk, kau bawa aku terbang untuk memetik bintang. Kau hadiahkan cinta dan kau janjikan setia, selalu..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...