Dua malam ini kuhabiskan bersama
Bamma. Ya, longweekend kali ini kami berdua—layaknya
pasangan yang sedang berbulan madu, memilih menebus kerinduan kami di hotel bintang
lima tepat di seberang Soriano Trattoria yang ramai itu. Sejak kulahirkan dan
kubesarkan Casssandra sendiri—tanpa ayah, kesendirianku itu kubunuh dengan
bergelut di komunitas kaum jetset. Dulu aku hanya bisa menangisi kenyataan
bahwa suamiku adalah penggemar wanita-wanita muda. Dengan kesuksesannya dalam
mengelola perusahaan IT miliknya, ia mampu membayar wanita-wanita itu untuk
memuaskan hasratnya. Tinggal pilih, model, artis, atau siapa pun yang ia
inginkan. Walau aku sebenarnya tak cinta pada suamiku itu, tapi nista yang ia sodorkan
padaku wajib kubalas dengan nista juga!
Ketika aku bertemu sahabatku
Adel bersama kekasihnya—tepatnya brondongnya, Randy. Dari Randy, aku diperkenalkan
dengan Dyto. Sejak bertemu Dyto itulah, aku bisa melupakan tabiat suamiku.
Tapi itu dulu, sekian tahun
yang lalu. Entah sudah berapa kali aku gonta-ganti pasangan. Saat ini, aku
punya banyak stok brondong yang jadi model di perusahaan iklan tempatku
bekerja. Seperti dua malam ini. Bamma—lelaki tampan dengan tubuh jangkung,
tegap, mata coklat, dan senyumannya yang selalu menawan itu, tahu bagaimana
mencintaiku. Tak peduli ia hanya butuh duitku atau apapun alasannya, tapi aku
menikmati setiap ciuman, belaian, dan Bamma selalu tahu bagaimana memuaskan
dahaga cintaku.
“Aku laper, honey!” ujarku sesaat setelah kami
berpagutan, dan melakukan silatan-silatan lidah yang dahsyat di sisi jendela
hotel.
“Okay, sweety. Tampaknya pizza
di trattoria itu patut kita coba,” Bamma menunjuk restoran Italia di seberang
hotel tempat kami menginap.
Tak perlu waktu lama, kami
telah tiba di depan Soriano Trattoria ini. Denting lonceng yang dipasang di
pintu masuk restoran ini, menyambut kedatangan kami. Ramai pengunjung di sini.
Namun mataku tak sempat beredar di sekeliling restoran ketika pemandangan itu
kusaksikan. Bamma yang sedari tadi kugandeng tangannya, melepas gandengan
tanganku demi meraih tangan seorang wanita—tampaknya aku mengenalinya. Putriku.
“Cassandra…”
“Sejak kecil aku selalu
menangis karena mama. Mama yang tidak pernah ada untukku. Mama yang harusnya
mengajarkan aku tentang cinta dan kasih sayang tetapi malah sibuk mengumbar
diri dari pria muda ke pria muda lainnya. Tapi kali ini, ma, ini luka paling
dalam yang pernah mama kasih ke aku,” mataku berkaca-kaca mendengar kata-kata
yang keluar dari mulut Cassandra. Ia berlalu meninggalkan trattoria ini.
Ada
hubungan apa di antara Cassandra dan Bamma?
Batinku bergejolak. Kutarik
tangan Bamma dan kuseret ia ke meja kosong di pojok trattoria ini. Tak
kupedulikan pengunjung lain yang sedang ramai. Pramusaji yang mondar-mandir di
dekatku pun kuabaikan.
“Maafkan aku, sweety.. Aku benar-benar gak tahu kalo
Sandy ituu..”
“Cukup!” aku berteriak memotong
perkataan Bamma. Bamma mencoba merayuku dengan mendekatkan bibirnya ke
telingaku. Membisikkan rayuan yang selalu menggetarkanku. Rayuan yang selalu
membiuskan aroma indah. Tapi kali ini aku tak bergeming. Gigiku gemeretak,
panas di dada hendak kuluapkan kemarahanku di sini. Andai saja ini bukan restoran, sudah kulabrak Bamma.
Kupanggil pramusaji, aku memesan red wine.
Berselang beberapa menit, pesananku datang. Buru-buru kutenggak red wine itu, sementara Bamma tak henti-hentinya membisikkan permohonan maaf
kepadaku. Aku terlanjur geram. Aku berdiri di depan Bamma.
“Pergi kau! Jangan pernah lagi
berani menampakkan diri di hadapanku!”
wine-nya enak gak?
ReplyDelete