Jun 18, 2012

Sepanjang Jalan Braga



“Alyanna? Tumben nelpon. Apa kabar?” Suara yang kudengar ini masih sama ketika terakhir kali kami berjumpa. Sudah lama. Aku lupa tepatnya. Suaranya masih renyah. Terdengar selalu riang dan ceria.
“Kamu masih di Bandung kan?” Aku balik bertanya.
“He eh!” Ia mengiyakan.
“Temenin belanja oleh-oleh, please..” Aku lagi malas jalan-jalan sendiri di sini. Terlalu banyak cerita yang terkuak untuk dikenang setiap kususuri sepanjang jalan Braga.

“Oke, tapi aku izin pacarku dulu yaa..” Satu-satunya sahabatku yang menetap di Bandung  dan masih sering mengontakku hanya Alvy. Perkenalanku dengan Alvy berawal dari sebuah komunitas online di Jakarta, di mana kami berdua adalah anggota yang cukup aktif di sana. Alvy, cewek tomboy yang selalu tampil dengan rambut pendeknya ternyata teman yang asyik diajak ngobrol. Saat gathering dengan anggota-anggota komunitas, Alvy selalu punya cerita lucu yang ia jadikan guyonan dan acara kumpul-kumpul pun pasti akan seru. Namun begitu, Alvy tak pernah sedikit pun bercerita tentang kehidupan pribadinya. Siapa dan di mana keluarga besarnya aku tak tahu. Aku hanya tahu Alvy bekerja dan menetap di Bandung. Sesekali ke Jakarta. Sudah. Itu saja. Adalah menjadi hak Alvy untuk mau bercerita atau tidak. Aku juga tak pernah mendesaknya agar mau berbagi cerita. Pertemanan kami mengalir begitu saja, seperti air sungai yang mengikuti ke mana derasnya arus membawanya.

“Alvy? Kita kan udah temenan sejak lama. Masa pacarmu cemburu. Aku kan cewek. Ya gak mungkinlah pacarmu larang!”

Braga memang selalu tak lupa kudatangi setiap kali ke Bandung. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan Braga selalu menarik bagi pecinta wisata kota tua. Walaupun pengaruh modernisasi sudah mulai terasa namun itu tidak menghilangkan keaslian bangunan masa lalu di jalan yang tidak terlalu panjang ini. Dari tempatku berdiri ini, aku melihat Braga Citywalk dengan bangunan arsitektur kuno dengan sentuhan pengaruh modern. Di sana, di salah satu sudut tempat nongkrong yang asyik di Braga, beberapa tahun lalu, aku pernah duduk sambil menikmati secangkir cappuccino. Di hadapanku, waktu itu, ada lelaki yang amat kusayangi—selama lebih dari lima tahun terakhir ini, namun kini rasa itu sedikit demi sedikit aus dikikis kerinduan. Lelaki itu menyesap kopi hitam yang ia pesan sambil sesekali menjelajahi setiap inci wajahku dengan sorot mata tajamnya. Ritual penjelajahannya bukan sekali dua kali ia lakukan. Dan selalu saja membuatku salah tingkah.

Ah! Itu dulu, Alyanna..

Bayangan wajah Adrian menyerang ingatanku tentang Wigar. Sepertinya bayangan itu tidak senang jika sosok lelaki lain hadir menyusup di otakku. Ya wajar, pikirku. Di jari manisku sudah tersemat cincin pemberian Adrian. Ia juga sudah menyatakan keseriusannya. Aku pun sudah pada ketetapan hatiku. Mengakhiri kisah bersama Wigar. Melupakannya. Dan memulai babak baru bersama Adrian. Demikian.

Tapi ternyata tak semudah itu, Alyanna..

“Aku udah di Braga nih. Kamu di mana?”
“Aku di Braga Citywalk. Aku tunggu di sini yaa..”
“Oke”

Beberapa menit kemudian, sosok wanita rambut pendek, yang mengenakan kaos oblong, dan jeans sebagai pakaian kebesarannya telah hadir di depanku. Alvy mengulurkan tangannya. Kami bersalaman. Lalu kudekatkan pipiku ke pipinya. Cium pipi kanan, cium pipi kiri.
“Yuk. Temenin aku belanja. Eh tapi kita makan dulu deh. Aku yang traktir. Kamu pasti belum makan, kan?”
“Sip. Tapi aku gak bisa lama-lama ya. Ada janjian sama pacar sore nanti.”
***
“Vy, sini deh. Ada itu tuh, di dagu kamu.” Aku meraih tissue dan mengusapkan ke dagu Alvy akibat saus spaghetti yang menempel di dagu lancipnya.
“Biar saya aja.” Alvy menolak dengan halus dan mengambil alih tissue dari tanganku.
Beberapa detik setelah kejadian itu, kudengar langkah seseorang mendekat ke arah kami. Semakin dekat, langkah itu semakin dipercepat. Belum sempat aku menoleh, kurasakan rambutku ditarik. Dijambak.
“Awww!”
“Kurang ajar kamu ya! Alvy itu pacarku. Dan aku pacarnya Alvy. Jangan ganggu-ganggu dia lagi. Kalau enggak, kamu akan tanggung sendiri resikonya!”

Kubenahi rambutku yang baru saja ia lepaskan. Tangan yang tadi menarik rambutku kulihat putih, mulus. Pemiliknya adalah wanita cantik, berambut panjang, hidung mancung. Mengenakan setelan busana kerja dengan high heels yang memperjelas mulusnya kaki jenjangnya. Aku tak kenal siapa dia. Tapi dari pengakuan wanita girly itu, aku baru tahu kalau ternyata wanita itu adalah kekasih Alvy.

Jun 16, 2012

Jingga di Ujung Senja



Meeting tadi berjalan lancar pak. Laporannya sudah saya kirim ke email bapak.”
“Baiklah, Alyanna. Besok kita ketemu di Medan ya..”

Kutekan tombol bergambar gagang telepon warna merah. Setelah melapor kepada atasanku di kantor, aku merasa mampu menghela napas lebih lega, setidaknya di penghujung senja hingga sisa hari yang kulalui di kota ini, sebelum besok kulanjutkan perjalanan dinasku ke beberapa kota, sepekan ini.

Setiap orang butuh waktu untuk sendiri.

Aku pun. Di jembatan yang telah menjadi lambang kota Palembang ini, kini aku. Menikmati jingga di ujung senja yang baru pertama kali kutemui di kota ini. Sebuah meeting menggiringku ke kota ini. Pertemuan dengan rekan bisnis yang seharusnya dihadiri oleh atasanku tadi pagi. Lekat-lekat kuamati cincin yang melingkar di jari manisku. Cincin berlian yang kuterima dari lelaki yang berhasil mencipta jutaan cinta dariku untuknya. Cincin yang serupa kusematkan di jari manisnya saat itu, sebenarnya ia sendiri yang menyiapkan semuanya, menyiapkan kejutan demi kejutan untukku.

Matahari sebentar lagi hilang tertelan Sungai Musi. Senja ini kian menjingga di sepanjang jembatan Ampera. Sebentar lagi sensasi senja akan berganti dengan tautan gelap malam di semesta. Aku merasakan ada mata yang mengintaiku. Aku menoleh dan kuarahkan pandang ke sepanjang jembatan yang membelah sungai musi. Lampu-lampu yang siap menghiasi Ampera di malam hari mulai dinyalakan, semakin menambah jingga senja ini. Tiba-tiba kurasakan bahuku ditepuk halus oleh tangan lembut.

“Alyanna kan?” pemilik tangan lembut itu menegurku. Suara wanita.
“Hai, ma.. maaf aku lupa. Siapa ya?”
“Aku Widya. Kakaknya Wigar. Kamu pacarnya kan?”

Oh Tuhan! Selama pacaran lebih dari lima tahun dengan pria itu, aku sama sekali tidak pernah tahu kalau Wigar punya kakak perempuan bernama Widya. Kuamati wanita jangkung ini dari ujung rambut sampai ujung kaki, kaos yang ia kenakan agak kebesaran, jeans, dan sepatu bootnya memberi kesan maskulin pada dirinya. Hidung mancungnya memang serupa dengan hidung kepunyaan Wigar. Senyum ramahnya juga mirip. Ya, aku bisa percaya jika wanita itu memang saudara kandung Wigar. Sementara mataku menjelajahi sosok wanita di hadapanku ini, otakku pun turut bekerja, mencari tahu dari mana Widya mengenaliku sebagai pacar Wigar.

“Hmm.. Aku pernah liat fotomu di hp Wigar.” Widya memecah rasa penasaranku.
“Ow..” Aku speechless jadinya. Bibirku menyunggingkan senyum.
“Sedang apa di sini, Al? Bukannya kamu menetap di Jakarta, kan?”
“Aku kebetulan ada tugas dari kantor, Mbak. Tapi besok juga udah balik kok. Mbak Widya tinggal di sini ya?”
“Ya. Ikut suami.”

Di saat aku ingin memulai hari-hari tanpa nama Wigar di kepala dan hatiku, mengapa datang lagi orang yang mengingatkanku tentangnya? Orang yang tak terduga pula datangnya! Ah!

Jingga mengantarkan gundah di ujung senja. Sementara pengunjung jembatan ampera kian ramai dengan senda gurau masing-masing dengan sungai musi sebagai saksi mereka, lampu-lampu yang menghias sepanjang jembatan ampera kurasakan semakin menyorot gundahku di hadapan wanita ini.

“Kapan rencana kalian ke arah yang lebih serius?”

Hei! Kenapa jadi kayak wartawan infotainment yang menodong selebriti dengan pertanyaan menusuk seperti itu? Aku harus jawab apa? Apa aku harus bilang: No comment, seperti selebriti yang sedang tidak ingin dicecar pertanyaan seperti itu? Atau aku harus jujur dengan kerenggangan yang terjadi dan kerinduan yang tak mampu kompromi akan rentang jarak yang membentang?

Jun 14, 2012

Pagi Kuning Keemasan


Sinar matahari pagi baru saja muncul dari peraduannya  setelah semalam penuh berganti posisi dengan rembulan. Megahnya langit pagi ini pun seperti mengucapkan selamat datang kepada kami yang baru saja tiba di pulau kecil nan eksotis ini. Setelah kurang lebih 30 menit perjalanan dengan mengendarai perahu boat yang disewa Adrian khusus untuk kami berdua, tibalah aku dan Adrian dengan decak kagum karena disambut dengan pemandangan pepohonan, butir - butir pasir putih, warna biru kehijauan hamparan laut, suasana pagi kuning keemasan dan juga mercusuar yang menjulang tinggi, sungguh potret pulau kecil yang indah.

“Kamu memang paling bisa ya!” aku mencubit pinggang Adrian, setengah tak percaya atas apa yang terhampar di hadapanku saat ini. Takjub! Beberapa hari lalu secara mengejutkan Adrian menyusulku ke Bukittinggi. Setelah itu Adrian mengajak ke Belitung. Dan subuh tadi aku telah melewati perjalanan laut dan sekarang, aku berdiri tepat di hadapan mercusuar di pulau Lengkuas.

“Iya dong! Naik ke mercusuar yuk. Di sana pasti lebih indah!” ajak Adrian sambil menarik tanganku lalu berlari kecil mendekati seorang petugas. Setelah mendapat izin dari bapak itu, kami akhirnya bisa menaiki mercusuar dan aku masih saja dalam perasaan setengah tak percaya.



Wigar tak pernah memanjakan hubungan kami seperti cara Adrian ini. Wigar tak pernah membumbui hubungan kami dengan romantisme seperti ini.
Di kepalaku kenapa tiba-tiba muncul nama Wigar lagi? Bukannya aku sudah memantapkan hati untuk menatap hari-hari ke depan tanpa dia?

“Kamu gak senang ya, aku ajak ke sini?” Adrian membuyarkan lamunanku.
“Seneng kok! Seneng banget malah. Sampe speechless!” Aku harus membuang jauh-jauh wajah Wigar dari bayanganku. Apalagi saat Adrian sudah mulai menjelajahi bibirku dengan pagutan bibirnya. Kupejamkan mataku. Getaran hangat mengaliri sekujur tubuhku. Tak dapat kupungkiri, akupun menikmatinya. Saat perlahan kubuka mataku dan hendak menjauhkan tubuhku dari pelukan Adrian, lelaki di hadapanku itu kembali menangkap tubuhku dan.. sial! Semakin aku berniat membuang jauh-jauh wajah Wigar, ia menjelma dalam sosok bernama Adrian!

Adrian meraih sesuatu dari dalam ranselnya, “Al, tutup mata dulu ya..”
“Untuk apa?”
“Aku mau kasih sesuatu buat kamu.”

Sehelai saputangan kini menutupi mataku yang diikat erat oleh Adrian. Aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa. Adrian menggenggam tanganku, menuntunku berjalan entah ke mana.
“Kita mau ke mana sih?” aku sungguh dibuat penasaran oleh lelaki ini.
“Sabar, sabar.. ntar juga tau kok!”

Kini kurasakan langkah kakiku menuruni anak tangga. Perlahan, sambil terus dituntun oleh tangan lembut lelaki ini. Adrian akan membawaku ke mana ya? Adrian punya kejutan apa lagi untukku? Ah, Adrian memang lelaki dengan sejuta ide kejutan. Atau aku kegeeran ya?
Kini sekujur tubuhku kurasakan hangat, kupastikan itu adalah berkat sinar matahari pagi yang menerpa kulitku. Kakiku sesekali diterpa halusnya butiran-butiran pasir yang menempel di sandal yang kukenakan.

“Kita mau ke mana sih? Capek tauk!” keluhku sambil melepaskan genggaman tangan Adrian, lalu berhenti berjalan.

“Ayolah, Al.. Bentar lagi sampai kok,” ujar Adrian setengah menarik tanganku. Aku pasrah. Menurut saja ke mana Adrian akan membawaku. Setelah beberapa langkah, kakiku mulai basah. Semakin melangkah, kurasa air sudah selutut.
Adrian membuka saputangan yang sedari tadi menutupi mataku. Kukejap-kejapkan mataku, aku berada di tengah laut Belitung yang begitu bening.

“Ambil kotak itu, lalu bukalah, Al..” perintah Adrian sambil menyerahkan sebuah kunci.
Kuraih kotak kayu yang tenggelam di dasar laut tepat di depan kakiku ini. Riak ombak sesekali menerpa, namun kuabaikan. Karena aku sudah tak sabar membuka gemboknya dengan kunci yang diberikan Adrian tadi. Setelah berhasil melepaskan gemboknya, sebuah kotak yang lebih kecil berwarna putih terlihat mengilap dari dalam kotak kayu. Tanpa pikir panjang lagi, kuraih kotak putih berbentuk hati itu.

Di dalamnya kutemui dua buah cincin berlian. Oh, Tuhan!

Jun 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau


Kuhirup udara sore yang cerah ini. Kukumpulkan oksigen sebanyak mungkin yang mampu ditampung paru-paruku. Kutahan sejenak, lalu kuhembuskan perlahan sambil terus mengamati tiap sudut di taman ini. Setiap berkunjung ke kota ini, aku tak pernah lupa untuk mampir ke sini. Berdiri tepat di bawah jam gadang, atau duduk di salah satu sudut taman. Sebenarnya bukan mampir, tapi memang menyempatkan diri untuk datang.


Kali ini aku memilih duduk sambil kuamati satu-satu pengunjung taman di sekitar jam gadang ini. Jam besar dengan tinggi 26 meter ini memang menjadi ikon kota Bukittinggi yang selalu menarik banyak orang untuk berkunjung ke sini. Ada ibu dan seorang anak yang sedang berfoto bersama badut. Ada juga sepasang remaja yang saling mengadu pandang satu sama lain. Entah mereka sedang berbincang tentang apa. Yang aku tahu, mereka tampak mesra. Terlihat pula beberapa orang berjalan menuju ke tujuannya masing-masing. Entah ke mana. Di hari kerja seperti ini memang tak seramai hari libur. Namun menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera Barat ini seperti tak peduli ramai tidaknya orang di sekelilingnya. Ia tetap kokoh, teguh, tegap, memberi petunjuk waktu.

Seperti itu pula kau. Selalu tak peduli dengan kejenuhanku. Selalu tak mau tahu, bahwa aku bosan dengan rindu. Entah apa yang ada di benakmu saat kau mempertahankan hubungan jarak jauh yang begitu membosankan ini.

“Pokoknya kita tetap harus bersama, Al. Sabarlah menunggu sampai hari bahagia itu tiba. Aku pasti akan datang melamarmu. Karena aku masih dan tetap mencintaimu, Alyanna!” Ujarmu meyakinkanku lewat telepon saat berkali-kali aku mencoba mengakhiri hubungan kita. Ya, aku memang sudah merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Aku bolak balik Padang – Makassar. Sementara kau? Kita sudah hampir setahun tak bertemu sejak kau menjalani bisnismu di Gorontalo.

Mungkin kau terlalu sibuk dengan usaha yang baru kau rintis, namun gejolak rinduku sudah cukup lama kau belenggu, Wigar!

Kutekan tombol bergambar gagang telepon berwarna merah. Aku tak sanggup mendengar lebih lama lagi suara Wigar. Aku benci mendengar kata-kata cinta dan sejuta janji dari Wigar. Karena aku sendiri tidak yakin dengan semua itu. Aku juga benci ketidakmampuanku berbicara jujur. Ya, aku masih belum mampu mengatakan pada Wigar jika sebenarnya ada Adrian yang selalu membuatku nyaman akhir-akhir ini. Teman kelasku semasa SMP yang kutemui saat reuni beberapa waktu lalu. Lelaki dengan pesona yang mampu menggetarkan sekujur tubuhku. Aku selalu merasa seperti ada balon udara yang menerbangkanku menikmati keindahan rasa saat bersama Adrian. Adrian selalu berhasil menciptakan degupan kencang di jantungku. Sesuatu yang sudah lama tak kutemui dengan Wigar.

Dilema. Seperti tangisan anak kecil di taman jam gadang yang minta dibelikan permen namun tak diberi oleh ibunya. Seperti dentang jam gadang dari keempat sisi yang berbeda. Seperti hendak membelah diri ini menjadi dua bagian. Satu bagian untuk mengikuti kehendak Wigar. Satu lagi untukku sendiri di zona yang membuatku nyaman.

Jam gadang menunjukkan pukul 17.30 ketika jingga perlahan mulai menghiasi langit Bukittinggi. Aku masih di sini, mencoba untuk mengumpulkan lagi kemampuanku untuk bisa jujur pada Wigar. Aku menengadahkan kepalaku. Mungkin langit sore punya jawabnya. Atau gumpalan awan akan membisikiku tipsnya. Mungkin sinar matahari yang sebentar lagi tenggelam akan memberi tahuku cara terbaik yang harus aku lakukan. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Kuharap ada ketenangan di sana. Namun ternyata tidak. Yang ada hanya gelap dan kegelisahan yang kian buncah.

Tiba-tiba smartphone-ku berdering lagi setelah. Ada nama Wigar lagi yang berkedip-kedip dari layar lebar itu. Kali ini aku harus jujur. Siap atau tidak, Wigar harus memberiku lampu hijau. Lampu hijau untukku bisa melaju ke masa depanku tanpa Wigar. Harus!

Flash Fiction ini diikutkan dalam #15HariNgeblogFF2
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...