“Alyanna? Tumben nelpon.
Apa kabar?” Suara yang kudengar ini masih sama ketika terakhir kali kami
berjumpa. Sudah lama. Aku lupa tepatnya. Suaranya masih renyah. Terdengar
selalu riang dan ceria.
“Kamu masih di
Bandung kan?” Aku balik bertanya.
“He eh!” Ia
mengiyakan.
“Temenin belanja
oleh-oleh, please..” Aku lagi malas
jalan-jalan sendiri di sini. Terlalu banyak cerita yang terkuak untuk dikenang
setiap kususuri sepanjang jalan Braga.
“Oke, tapi aku izin
pacarku dulu yaa..” Satu-satunya sahabatku yang menetap di Bandung dan masih sering mengontakku hanya Alvy.
Perkenalanku dengan Alvy berawal dari sebuah komunitas online di Jakarta, di mana kami berdua adalah anggota yang cukup
aktif di sana. Alvy, cewek tomboy yang selalu tampil dengan rambut pendeknya
ternyata teman yang asyik diajak ngobrol. Saat gathering dengan anggota-anggota komunitas, Alvy selalu punya
cerita lucu yang ia jadikan guyonan dan acara kumpul-kumpul pun pasti akan
seru. Namun begitu, Alvy tak pernah sedikit pun bercerita tentang kehidupan
pribadinya. Siapa dan di mana keluarga besarnya aku tak tahu. Aku hanya tahu
Alvy bekerja dan menetap di Bandung. Sesekali ke Jakarta. Sudah. Itu saja. Adalah
menjadi hak Alvy untuk mau bercerita atau tidak. Aku juga tak pernah
mendesaknya agar mau berbagi cerita. Pertemanan kami mengalir begitu saja,
seperti air sungai yang mengikuti ke mana derasnya arus membawanya.
“Alvy? Kita kan udah
temenan sejak lama. Masa pacarmu cemburu. Aku kan cewek. Ya gak mungkinlah
pacarmu larang!”
Braga memang selalu
tak lupa kudatangi setiap kali ke Bandung. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan
Braga selalu menarik bagi pecinta wisata kota tua. Walaupun pengaruh modernisasi sudah mulai terasa
namun itu tidak menghilangkan keaslian bangunan masa lalu di jalan yang tidak
terlalu panjang ini. Dari tempatku berdiri ini, aku melihat Braga
Citywalk dengan bangunan arsitektur kuno dengan sentuhan pengaruh modern. Di
sana, di salah satu sudut tempat nongkrong yang asyik di Braga, beberapa tahun
lalu, aku pernah duduk sambil menikmati secangkir cappuccino. Di hadapanku, waktu itu, ada lelaki yang amat kusayangi—selama
lebih dari lima tahun terakhir ini, namun kini rasa itu sedikit demi sedikit
aus dikikis kerinduan. Lelaki itu menyesap kopi hitam yang ia pesan sambil
sesekali menjelajahi setiap inci wajahku dengan sorot mata tajamnya. Ritual
penjelajahannya bukan sekali dua kali ia lakukan. Dan selalu saja membuatku salah
tingkah.
Ah!
Itu dulu, Alyanna..
Bayangan wajah Adrian
menyerang ingatanku tentang Wigar. Sepertinya bayangan itu tidak senang jika
sosok lelaki lain hadir menyusup di otakku. Ya wajar, pikirku. Di jari manisku
sudah tersemat cincin pemberian Adrian. Ia juga sudah menyatakan keseriusannya.
Aku pun sudah pada ketetapan hatiku. Mengakhiri kisah bersama Wigar. Melupakannya.
Dan memulai babak baru bersama Adrian. Demikian.
Tapi
ternyata tak semudah itu, Alyanna..
“Aku udah di Braga
nih. Kamu di mana?”
“Aku di Braga
Citywalk. Aku tunggu di sini yaa..”
“Oke”
Beberapa menit
kemudian, sosok wanita rambut pendek, yang mengenakan kaos oblong, dan jeans
sebagai pakaian kebesarannya telah hadir di depanku. Alvy mengulurkan
tangannya. Kami bersalaman. Lalu kudekatkan pipiku ke pipinya. Cium pipi kanan,
cium pipi kiri.
“Yuk. Temenin aku
belanja. Eh tapi kita makan dulu deh. Aku yang traktir. Kamu pasti belum makan,
kan?”
“Sip. Tapi aku gak
bisa lama-lama ya. Ada janjian sama pacar sore nanti.”
***
“Vy, sini deh. Ada
itu tuh, di dagu kamu.” Aku meraih tissue
dan mengusapkan ke dagu Alvy akibat saus spaghetti yang menempel di dagu
lancipnya.
“Biar saya aja.” Alvy
menolak dengan halus dan mengambil alih tissue
dari tanganku.
Beberapa detik setelah
kejadian itu, kudengar langkah seseorang mendekat ke arah kami. Semakin dekat,
langkah itu semakin dipercepat. Belum sempat aku menoleh, kurasakan rambutku
ditarik. Dijambak.
“Awww!”
“Kurang ajar kamu ya!
Alvy itu pacarku. Dan aku pacarnya Alvy. Jangan ganggu-ganggu dia lagi. Kalau
enggak, kamu akan tanggung sendiri resikonya!”
Kubenahi rambutku
yang baru saja ia lepaskan. Tangan yang tadi menarik rambutku kulihat putih,
mulus. Pemiliknya adalah wanita cantik, berambut panjang, hidung mancung.
Mengenakan setelan busana kerja dengan high
heels yang memperjelas mulusnya kaki jenjangnya. Aku tak kenal siapa dia.
Tapi dari pengakuan wanita girly itu,
aku baru tahu kalau ternyata wanita itu adalah kekasih Alvy.