Apr 25, 2013

Yang Dinanti Pagi dan Sore



Hampir setiap pagi dan sore ia melewati tempat tinggal kami sambil membunyikan musik keras-keras. Lagu-lagunya sudah sangat familiar di telinga anak-anak. Lagu naik kereta api, burung kutilang, pohon cemara, pelangi, dan masih banyak stok lagu anak-anak lainnya. Saat tiba di depan rumah, ia pasti memelankan kayuh roda kendaraan yang menyerupai delman, namun menggunakan sepeda. Dan suara anak-anak yang berteriak gembira menyambut kedatangannya adalah kebahagiaan buat ia karena sebentar lagi rezeki akan berpihak kepadanya.

"Pada hari minggu kuturut ayah ke kota
Naik delman istimewa ku duduk di muka
Kududuk samping pak kusir yang sedang bekerja
Mengendali kuda supaya baik jalannya"

Salah satu lagu yang selalu ia putarkan untuk anak-anak. Jika sehari saja ia tak tampak, maka ibu-ibu pasti akan bertanya-tanya. Ke mana ia? Sakitkah? Pulang kampungkah?

Sudah bisa menebak, siapakah dia? Ya, dialah tukang odong-odong.

Tukang odong-odong yang setia menghampiri kompleks kami setiap pagi dan sore adalah primadona bagi ibu-ibu. Betapa tidak, anak yang malas makan akan jadi lahap makannya saat bermain odong-odong. Anak yang rewel akan jadi anteng, lalu sesama ibu-ibu akan jadi lancar ngerumpinya.

"Bangun tidur kuterus mandi
Tidak lupa menggosok gigi
Habis mandi kutolong ibu
Membersihkan tempat tidurku"


Terkadang ibu-ibu yang menunggui anak-anaknya juga ikut menyanyi lagu yang mungkin mengingatkan mereka dengan masa kecil mereka. Cukup dengan seribu rupiah setiap tiga lagu, anak-anak bisa menikmati sensasi naik turun, maju mundur, di atas odong-odong yang berbentuk hewan atau berbentuk motor. Walau tak sama persis, tapi sensasinya menyerupai permainan di mall-mall yang menggunakan koin atau member card dengan sistem gesek. Harga di mall tentu lebih mahal, kan?

Selain harganya yang sangat terjangkau, kehadiran odong-odong juga sebagai bentuk pelestarian lagu anak-anak. Ya, karena di stasiun tv sekarang sudah sangat jarang anak-anak bisa menyaksikan lagu yang sesuai dengan umur mereka.

Satu, dua lagu selesai terputar. Abang tukang odong-odong masih terus mengayuh roda sepedanya, agar sensasi naik turun dan maju mundur yang dirasakan anak-anak tak berhenti.

“Bang, berapa lagu lagi?” Tanya seorang ibu.
“Satu lagi seribu” Jawab Abang tukang odong-odong.
“Dua ribu deh” Ibu itu menyerahkan selembar dua ribuan.

Kini lagu burung kutilang yang menjadi musik pengiring.

Di pucuk pohon cemara
burung kutilang berbunyi
bersiul-siul sepanjang hari
dengan tak jemu-jemu
mengangguk-angguk sambil berseru
trilili lilili lilili

sambil berlompat-lompatan
paruhnya slalu terbuka
digeleng-gelengkan kepalanya
menentang langit biru
tandanya suka ia berseru
trilili lili lilili

Fadel pun, ketagihan bermain odong-odong. Bersama tiga orang teman sebayanya, ia sudah bisa menaiki odong-odong sendiri. Awal mengenal odong-odong saat ia masih berumur 2 tahun, ia masih minta bantuanku untuk menggendongnya menaiki permainan kesayangannya ini. Pernah sekali saya merasa sangat senang saat lagu-lagu yang diputar oleh abang tukang odong-odong lain dari biasanya. Lagu tema dewasa? Oh, tentu bukan. Kalau lagu-lagu dewasa yang terkadang galau-galau itu yang diputar, tentu semua ibu-ibu akan protes dan anak-anak pun tidak akan anteng di atas odong-odong. Kali ini lagu yang diputarkan adalah lagu daerah dari berbagai daerah di Indonesia. Ampar-ampar pisang, Manuk dadali, apuse, soleram, dan Wow! Angingmammiri juga ada. Walaupun tidak tiap hari diputarkan lagu –lagu daerah itu, minimal mengenalkan ke balita yang sering naik odong-odong dengan lagu daerah yang hampir tidak pernah lagi ada di tv.



Apr 13, 2013

Tetangga Kami Bugis..


Kisah ini terjadi sekitar 2 tahun lalu saat saya dan keluarga menjadi warga baru di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Waktu itu kami baru saja pindah dari daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Maklum, selama menetap di ibukotanya Indonesia ini, kami sekeluarga memang keluarga “kontraktor”. Tinggal di rumah kontrakan yang dekat dari tempat kerja suami :)
 Sebagai orang yang lahir dan besar di tanah Bugis namun hijrah di Jakarta beberapa tahun terakhir ini, saya merasa lebih nyaman untuk tetap menggunakan bahasa Bugis ketika berbincang dengan suami dan saudara sepupu yang juga tinggal bersama kami. Terkadang, ketika kami melakukan hal itu di tempat umum, terlihat raut wajah aneh dan bingung saat orang-orang sekitar mengamati kami dengan bahasa dan dialek yang tak lazim di telinga mereka. Mungkin saja mereka mereka-reka, asal daerah kami. Pernah bertemu dengan seorang ibu di sebuah pusat perbelanjaan dan menebak kalau kami dari Sulawesi Tenggara saat mendengar logat kami. “Kami dari Sulawesi Selatan, Bu. Provinsinya masih tetangga dengan Sulawesi Tenggara”, ujarku saat itu.
Obrolan menggunakan bahasa bugis juga sering kami gunakan untuk membahas hal-hal “rahasia” ketika kami di tempat umum. Saya dan keluarga memang masih mempertahankan bahasa Bugis sebagai bahasa sehari-hari dan perlu dilestarikan sebagai suatu bagian dari kebudayaan bangsa. Bahasa Bugis, walaupun agak berbeda dari segi dialek antara Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai, dan beberapa daerah yang menggunakan bahasa Bugis, akan tetapi ketika bertemu dengan orang Bugis (walaupun dialeknya berbeda) di Jakarta yang dominan dari suku Jawa, Sunda, dan Betawi, saya merasa seperti bertemu dengan keluarga sendiri di perantauan ini.
Suatu sore yang sangat cerah, saya dan sepupu saya yang sama-sama belum hapal betul jalan di sekitar tempat kami tinggal, berniat mencari kios yang khusus menjual beras (bukan kios kelontong yang jualannya serba ada) dengan alasan harganya pasti lebih murah dibanding kios kelontong. Dengan mengendarai sepeda motor, kami akhirnya menemukan kios yang kami cari. Lokasinya sebenarnya tak begitu jauh, kira-kira 300 meter dari rumah kontrakan kami. Ditempuh dengan berjalan kaki pun tak masalah.
Aro pabbalu were’!” seru sepupu saya sambil menepikan motor yang kami kendarai.
Motor telah terparkir di depan kios. Tanpa ba-bi-bu, saya dan sepupu saya langsung nyelonong masuk ke dalam kios lalu memilah dan memilih beras yang baik kualitasnya (versi saya) juga cocok di kantong. Hehehehe.. Pemilik kios hanya mengamati saya dan sepupu saya dari jarak kurang lebih 1,5 meter dari arah saya.
Matebbe’ kessi’kessi’na di’?” Saya memperlihatkan beras  yang ada dalam genggaman saya ke sepupu saya untuk meminta komentar darinya.
Iyya di’?” jawabnya.
Tiba-tiba pemilik kios berujar: “Tapileini laingnge
Sontak saya dan sepupu saya saling bertatapan. Dalam hati saya kaget, malu, tapi juga senang. Kaget karena cukup jarang saya bertemu dengan saudara sekampung di Jakarta se-heterogen ini. Malu karena mengomentari beras si penjual yang banyak pasir-pasirnya. Senangnya? Ya karena bertemu sesama orang suku Bugis, tetanggaan pula. Serasa di kampung sendiri. Hihihi..
Singkat cerita, saya akhirnya jadi langganan beli beras di tempat ini. Bisa ditebak kenapa. Karena penjualnya memilihkan beras terbaik dengan harga yang lebih murah. Apalagi saya suka beli beras untuk stok 1 bulan. Kalau beli di tempat ini, pasti diberi diskon. Komplet kan? Kualitas oke, harga oke, dapat diskon pula karena beli banyak. Kebahagiaan buat ibu-ibu seperti saya. Hehehehe..

---

Aro pabbalu were’!” = “Di sana ada penjual beras!”
Matebbe’ kessi’kessi’na di’?” = “Banyak pasir-pasirnya ya?”
Iyya di’?” = “Iya ya?”
Tapileini laingnge” = “Ada pilihan lain nih..”




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...