Trovommi Amor del tutto
disarmato
et aperta la via per gli
occhi al core,
che di lagrime son fatti uscio et varco.
che di lagrime son fatti uscio et varco.
Sebait soneta
yang terpampang di dinding Soriano
Trattoria menyambut siapa saja yang masuk ke restoran ini. Kuedarkan
pandanganku, kutemui seorang lelaki dengan senyum yang segar. Mungkin ia adalah
pemilik restoran ini. Seorang pramusaji yang sedang mengantarkan lasagna pada wanita yang duduk di sudut
sana. Di sudut yang lain, mataku tertumpu pada seseorang yang sedang melekatkan
telepon genggam di telinganya. Ia sedang berbicara di telepon. Segera kuhampiri
wanita yang mengenakan blouse warna biru gelap itu.
“Rae, kamu udah lama
nunggu aku?”
“Enggak kok. Kru pemotretan udah siap semua?”
Ia mengakhiri teleponnya, lalu tersenyum padaku. Kuletakkan tas berisi kamera
di sofa tepat di depan tempat Raina duduk. Lalu kuhempaskan badanku di samping
tas selempang itu duduk.
“Yang lain masih di
jalan. Bagaimana kalau kita makan saja dulu? Aku lapar nih..” ucapku sambil
mengelus perut yang sedari tadi tak kuat berkompromi dengan aroma bumbu khas
Italia yang berbau tajam. Raina yang sudah menghabiskan seporsi lasagna bersedia menemaniku dengan
memesan kopi espresso saja. Aku memilih pasta primavera dan Chianti—anggur merah vintage asal
Tuscany.
Tak lama, pramusaji
datang membawa pesanan kami. Dengan lahap kuhabiskan pastaku. Kuamati Raina
yang tampak tak bernafsu menghabiskan fettucine-nya. Ia hanya memain-mainkan
isi piring di hadapannya itu dengan garpu. Mataku menangkap bekas luka di
pergelangan tangannya.
“Tanganmu kenapa, Rae?”
tanganku menarik tangan Raina yang hendak ia sembunyikan di balik meja.
“Eng.. Enggak
kenapa-kenapa, kok, Nang..” Aku mencoba mempertemukan mataku dengan mata indah
Raina. Namun ia menunduk. Ada sebutir cairan bening menetes dari sudut matanya.
Hening.
Kuhirup
sebanyak-banyaknya oksigen yang mampu ditampung oleh paru-paruku. Aroma minyak
zaitun, kayu manis, pala, cengkih, basil, dan mozzarella, berebut tempat untuk
masuk ke rongga hidungku. Raina masih membisu. Aku tak berani bertanya lebih
jauh tentang bekas luka di dekat urat nadinya itu. Aku memang sama-sama bekerja
dengan Raina di sebuah majalah fashion.
Namun introvert-nya membuatku hanya
mengenal Raina sebatas profesionalisme kerja semata. Pekerjaan inilah yang
mempertemukanku hampir setiap hari dengannya. Selanjutnya ia lebih banyak diam
dan lebih senang menjadi pendengar lelucon-leluconku. Namun aku diam-diam
mengaguminya. Setiap kuabadikan gambarnya dengan hasil jepretanku, di sana ada
desir hebat yang bergetar. Entah apa! Yang pasti, gelora itu selalu ingin kuulangi,
lagi, dan lagi, setiap ku lihat ia selalu tampil cantik, menarik, dengan
tatapan mata yang hangat dan nyaris sempurna! Seperti chianti yang kuteguk ini. Selalu sempurna memberi kehangatan untuk
tubuhku.
Selama ini, aku hanya
menikmati wajah ayu Raina dari balik lensa kameraku. Senyumnya yang misterius, sorot
mata ibarat anak panah yang sulit untuk kutebak akan melesat ke mana. Tapi kali
ini aku tak peduli pada keramaian trattoria ini. Aku beranjak dari sofaku,
pindah ke sisi kanan Raina. Kugenggam tangannya. Tanganku yang satu lagi,
kuarahkan ke dagunya agar wajahnya terangkat dan mata kami pun beradu.
Selanjutnya, kudaratkan kecupan singkat di keningmu. Raina pasti merasa basah
bibirku sisa chianti yang kuminum
tadi.
“Aku mencintaimu,
Rae..”
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar ke blog ini. Pastikan mengisi kolom nama dan url blog agar saya bisa berkunjung balik ke blog teman-teman semua :)
Oiya, diharapkan tidak mencantumkan link hidup di dalam kolom komentar ya. Jika terdapat link hidup dalam komentarnya, mohon maaf akan saya hapus. Harap maklum.