May 30, 2012

Reuni


Cinta datangnya kadang dari penjuru yang tak terduga. Bukan cinta yang buta, tapi hadirnya yang kadang membutakan logika. Apakah Alyanna juga seperti ini sekarang? Alyanna mencintai Wigar. Dulu. Setelah ia berhenti bekerja di perusahaan coklat di Makassar dan pindah ke Surabaya—untuk memulai usaha Wedding Organizer-nya, cinta itu lambat laun pupus. Tak pernah Alyanna menyadari kapan rasa itu benar-benar hilang. Yang pasti, yang benar-benar  ia sadari kini adalah pesona Adrian sejak SMP hingga kini ternyata masih menggetarkan segenap rasanya.
Dalam ingatan Alyanna, terakhir kali ia bertemu Adrian adalah saat sekolah mereka mengadakan acara perpisahan untuk siswa yang akan tamat. Saat itu Alyanna hanya bisa melihat dari jauh sosok Adrian—yang diidolakan banyak siswi di sekolah—mempertunjukkan kemampuannya dalam bernyanyi sambil memetik gitar. Suara merdunya, petikan gitarnya yang semakin memperjelas betapa mempesonanya ia. Sementara Alyanna, seorang siswi yang hanya selalu berada di zona aman. Siswi yang biasa-biasa saja. Tak begitu cantik, tak begitu cerdas, tak ada hal yang begitu mengagumkan dalam dirinya saat itu.
Alyanna sangat terkejut ketika bertemu lagi dengan Ryan di sebuah reuni kecil-kecilan yang dibuat oleh teman seangkatan mereka di SMP dulu. Acara di sebuah kafe di Makassar itu mempertemukan Alyanna dengan teman-teman lamanya. Ia baru tahu kalau Anton, penggagas reuni ini telah menjadi guru olahraga di SMP mereka sekolah dulu. Regina, siswi yang terkenal punya banyak pacar dulu, kini memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dengan tiga anak yang ia ajak serta saat reuni. Irvan punya salon kecantikan, tampaknya ia menekuni bisnis yang sesuai dengan hobinya—saat sekolah dulu ia sangat hobi mengomentari jerawat Alyanna dan memberi saran produk kecantikan yang cocok untuk ia gunakan. Dan Adrian. Idola semasa SMP ini masih memancarkan pesonanya—terkhusus buat Alyanna.
”Alya beda banget ya sekarang. Dia makin cantik..” puji Adrian pada Alyanna di hadapan banyak teman yang lain. Wajah Alyanna merah, tersipu. Ia merasakan setiap pasang mata yang hadir di reuni kecil ini tertuju padanya.
”Iya, dulu dia culun banget. Hahahaha” Regina dan teman lain menertawai Alyanna. Dalam hati Alyanna akui, dulu memang ia selalu mengenakan seragam yang kebesaran, kacamata ukuran minus dua dengan lebar hampir memenuhi separuh wajahnya, rambut yang ikal selalu diikat agar tak terbang ke mana-mana—sebenarnya karena ia tidak percaya diri melihat rambut teman-teman lain yang lurus seperti di iklan-iklan sampo sementara Alyanna tidak. Tapi sekarang tidak lagi. Kacamata itu sudah ia ganti dengan kontak lens, rambutnya sudah lurus berkat rebonding, dan pilihan busana, aksesoris, dan alas kaki yang sering ia kenakan sekarang berkat hobinya membaca majalah fashion. Dan hasilnya? Adrian meminta nomor handphone Alyanna. Adrian pun memberi kartu namanya. Wow.. General Manager di sebuah perusahaan properti—jiwa Alyanna semakin  terpesona. Tampan dan mapan, juga perhatian!
Selepas reuni malam itu, Adrian menawarkan diri untuk mengantar Alyanna pulang ke rumah. Di antara yang hadir di acara itu, memang hanya Alyanna dan Adrian yang belum menikah. Beberapa teman juga meledek mereka. Ah, Alyanna tak peduli. Saat itu dalam benak Alyanna adalah apa kalimat yang tepat untuk menerima tawaran Adrian tadi?
”Ti.. Tidak merepotkan?” tanya Alyanna ragu-ragu saat berada di parkiran kafe di samping captiva milik Adrian.
”Tentu tidak. Untuk wanita secantik dirimu, tak ada yang membuatku repot.” Seperti ada balon udara yang menerbangkan Alyanna menikmati keindahan rasa. Ini gombalan. Aku tahu itu. Tapi gombalan ini berhasil menciptakan degupan kencang di jantung Alyanna. Alyanna terdiam menikmati degup itu ketika senyuman lelaki di hadapannya itu mekar dari bibirnya. Giginya yang rapih tampak berkilau dari balik senyuman itu.
”Tunggu apa lagi? Ayo naik!” Adrian membuka pintu captiva-nya. Alyanna tersontak kaget—lagi-lagi. Mungkin Adrian melihat tingkah anehnya itu.  Alyanna masuk ke dalam mobilnya, pura-pura bersikap wajar. Padahal sebenarnya ia masih terus berusaha menenangkan degup jantungnya yang gejolaknya seperti mendesak keluar. Tak lama kemudian, Adrian sudah duduk di sampingnya—di belakang kemudi. Di sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang reuni tadi. Tentang teman-teman mereka yang sudah lama tak pernah saling berkomunikasi, apalagi bertemu, tentang teman-teman mereka yang sudah sukses dengan pekerjaannya masing-masing, dan masih banyak lagi.  Ah, rasa nyaman bersama Adrian ini sudah lama tak kudapatkan dari kekasihku—Wigar.
”Kau membuatku tak bisa tidur malam ini,” Adrian menggenggam tangan Alyanna sesaat setelah menghentikan mobilnya tepat di depan rumahnya. Alyanna berusaha melepaskan genggaman itu, tiba-tiba rasa bersalah menyerangnya. Ia merasa telah mengkhianati Wigar. Bukankah Wigar telah berjanji untuk menikahi Alyanna tahun ini? Bukankah mereka saling mencintai selama 5 tahun terakhir ini? Tapi genggaman tangan itu terlalu erat untuk Alyanna lepaskan. Ia merelakan tangannya digenggam oleh jari-jemari Adrian.

”Ah, kau ini..” ucap Alyanna manja. Singkat. Ia takut salah ucap.
”Kecuali kalau kau besedia memejamkan matamu sesaat,” Adrian memiringkan tubuhnya ke arah Alyanna.
”Untuk apa?” Alyanna merasa aneh.
”Ayolah,” pinta Adrian. Alyanna menurut. Tiba-tiba saja ia merasakan ada yang lembut menempel di bibirnya yang merah merekah. Gemetar dari rambut sampai ujung kaki Alyanna. Ia membuka matanya perlahan. Bibir Adrian tepat berada di atas bibir Alyanna. Wajah lelaki itu telah berada tepat di depan wajah Alyanna. Nafas mereka saling memburu, aroma tubuh mereka beradu. Dan Alyanna merasakan rongga hidungnya telah semakin terisi dengan wangi tubuh lelaki yang berjarak hanya beberapa milimeter dari tubuhnya. Sorot mata Adrian menembus dalam manik mata Alyanna. Alyanna memejamkan matanya. Ada wajah Wigar di otak Alyanna.
”Maafkan aku, Gar..” Alyanna membatin.
Adrian menjauhkan tubuhnya perlahan dari Alyanna. Sesuatu yang mungkin bernama getaran mengaliri sekujur tubuh Alyanna saat ia menjilati bibirnya sendiri dan ia nikmati sisa ciuman Adrian tadi. Dahsyat. Sungguh dahsyatnya luar biasa membius Alyanna yang telah lama terpesona oleh sosoknya. Seseorang yang dengan tatap matanya yang tajam, seolah melucuti segenap pikirannya yang terlampau nyaman saat berada di dekatnya.
Sementara itu, ia  merasa semakin jauh dari Wigar. Komunikasi di antara mereka kurang. Bahkan jarang. Alyanna tak mampu bertahan dalam hubungan jarak jauh ini. Alyanna butuh bercerita banyak hal pada kekasihnya, ingin melakukan banyak hal  bersama lelaki yang dicintainya, kerinduan Alyanna untuk dimanja semakin bertumpuk, lalu di mana Wigar saat ia butuh semua itu?
Adrian memang tak tahu, kalau saat ini Alyanna masih sah menjadi kekasih Wigar selamat lima tahun ini. Bahkan Adrian tak kenal sama sekali, siapa Wigar. Adrian datang dan memenuhi relung hati Alyanna yang lama kosong walau secara komitmen, hatinya  dan Wigar masih bertaut. Adrian datang di saat Alyanna merindukan kasih sayang seseorang.
Sejak pertemuan mereka malam itu, Adrian semakin sering menemui Alyanna. Mereka sering mengnikmati makan siang bersama kemudian mengantar Alyanna kembali ke kantor. Akhir pekan ini ia mengajak Alyanna menonton di bioskop, ah, Adrian selalu hadir menemani Alyanna saat senang, sedih, marah, dan saat Alyanna memang sedang membutuhkannya. Hal ini yang tak ia peroleh dari Wigar karena Alyanna di Makassar, sedang Wigar di Surabaya.
Kebingungan menyerang Alyanna. Sejak beberapa minggu ini, Adrian semakin intensif hadir di hari-hari Alyanna. Tak hanya secara fisik, jiwanya pun merasa nyaman berada di dekat Adrian. Namun sialnya, Alyanna belum menemukan kalimat tepat untuk menyudahi komitmen bersama Wigar. Semudah itukah? Alyanna merasa hubungannya dengan Wigar yang dingin ini wajib segera diakhiri. Ia tak lagi merasakan gejolak yang dulu begitu dahsyat ketika bersama Wigar. Alyanna adalah wanita yang tak kuat menahan rindu. Hatinya merasa tidak mampu meneruskan hubungan dengan rentang jarak yang terlampau jauh ini.

Malam minggu ini mereka habiskan di rumah Adrian. Alyanna baru pertama kali ke sana. Rumah kecil dengan konsep modern minimalis. Alyanna bisa melihat, di ruang tamu ada sofa dan meja serta tv di depannya. Ada rak buku sebagai pembatas antara ruang tamu dengan ruangan di sebelahnya. Disana ada meja dan kursi makan serta kitchen set. Alyanna menawarkan untuk membuatkannya spaghetti—makanan favoritnya—untuk makan malam. Ia mengangguk tanda setuju. Setelah spagheti itu siap, mereka memilih menikmatinya di ruang tamu sambil menonton ulang  film Titanic di DVD. Mereka menonton film sambil saling suap spaghetti buatan Alyanna. Tibalah adegan ketika Jack menarik Rose ke tempat sepi di bawah menara pengawas kapal untuk berciuman membuat mata Alyanna dan Adrian saling tatap. Adrian mengarahkan piring spaghetti di tangan Alyanna untuk diletakkan di meja. Tangannya melingkar di pinggang Alyanna. Wajah mereka semakin tak berjarak. Perlahan, bibir Adrian yang masih ada sisa saus spaghetti mendekat ke arah wanita berkulit bersih di sampingnya.


”Aku ingin memilikimu..,” ujar Adrian setelah melumat bibir Alyanna.
Bibir Alyanna basah. Dan tak mampu berkata apa-apa. Hening. Hanya degup jantung mereka beradu saat Adrian memeluk tubuhnya erat. Alyanna tahu ia sedang menanti kata cinta dari bibirnya yang ia kulum, lagi dan lagi. Di kepalanya, ada wajah Wigar menari-nari dengan senyuman. Ada dilema memenuhi seluruh massa otaknya..

1 comment:

Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar ke blog ini. Pastikan mengisi kolom nama dan url blog agar saya bisa berkunjung balik ke blog teman-teman semua :)

Oiya, diharapkan tidak mencantumkan link hidup di dalam kolom komentar ya. Jika terdapat link hidup dalam komentarnya, mohon maaf akan saya hapus. Harap maklum.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...