Apr 13, 2013

Tetangga Kami Bugis..


Kisah ini terjadi sekitar 2 tahun lalu saat saya dan keluarga menjadi warga baru di daerah Pancoran, Jakarta Selatan. Waktu itu kami baru saja pindah dari daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Maklum, selama menetap di ibukotanya Indonesia ini, kami sekeluarga memang keluarga “kontraktor”. Tinggal di rumah kontrakan yang dekat dari tempat kerja suami :)
 Sebagai orang yang lahir dan besar di tanah Bugis namun hijrah di Jakarta beberapa tahun terakhir ini, saya merasa lebih nyaman untuk tetap menggunakan bahasa Bugis ketika berbincang dengan suami dan saudara sepupu yang juga tinggal bersama kami. Terkadang, ketika kami melakukan hal itu di tempat umum, terlihat raut wajah aneh dan bingung saat orang-orang sekitar mengamati kami dengan bahasa dan dialek yang tak lazim di telinga mereka. Mungkin saja mereka mereka-reka, asal daerah kami. Pernah bertemu dengan seorang ibu di sebuah pusat perbelanjaan dan menebak kalau kami dari Sulawesi Tenggara saat mendengar logat kami. “Kami dari Sulawesi Selatan, Bu. Provinsinya masih tetangga dengan Sulawesi Tenggara”, ujarku saat itu.
Obrolan menggunakan bahasa bugis juga sering kami gunakan untuk membahas hal-hal “rahasia” ketika kami di tempat umum. Saya dan keluarga memang masih mempertahankan bahasa Bugis sebagai bahasa sehari-hari dan perlu dilestarikan sebagai suatu bagian dari kebudayaan bangsa. Bahasa Bugis, walaupun agak berbeda dari segi dialek antara Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai, dan beberapa daerah yang menggunakan bahasa Bugis, akan tetapi ketika bertemu dengan orang Bugis (walaupun dialeknya berbeda) di Jakarta yang dominan dari suku Jawa, Sunda, dan Betawi, saya merasa seperti bertemu dengan keluarga sendiri di perantauan ini.
Suatu sore yang sangat cerah, saya dan sepupu saya yang sama-sama belum hapal betul jalan di sekitar tempat kami tinggal, berniat mencari kios yang khusus menjual beras (bukan kios kelontong yang jualannya serba ada) dengan alasan harganya pasti lebih murah dibanding kios kelontong. Dengan mengendarai sepeda motor, kami akhirnya menemukan kios yang kami cari. Lokasinya sebenarnya tak begitu jauh, kira-kira 300 meter dari rumah kontrakan kami. Ditempuh dengan berjalan kaki pun tak masalah.
Aro pabbalu were’!” seru sepupu saya sambil menepikan motor yang kami kendarai.
Motor telah terparkir di depan kios. Tanpa ba-bi-bu, saya dan sepupu saya langsung nyelonong masuk ke dalam kios lalu memilah dan memilih beras yang baik kualitasnya (versi saya) juga cocok di kantong. Hehehehe.. Pemilik kios hanya mengamati saya dan sepupu saya dari jarak kurang lebih 1,5 meter dari arah saya.
Matebbe’ kessi’kessi’na di’?” Saya memperlihatkan beras  yang ada dalam genggaman saya ke sepupu saya untuk meminta komentar darinya.
Iyya di’?” jawabnya.
Tiba-tiba pemilik kios berujar: “Tapileini laingnge
Sontak saya dan sepupu saya saling bertatapan. Dalam hati saya kaget, malu, tapi juga senang. Kaget karena cukup jarang saya bertemu dengan saudara sekampung di Jakarta se-heterogen ini. Malu karena mengomentari beras si penjual yang banyak pasir-pasirnya. Senangnya? Ya karena bertemu sesama orang suku Bugis, tetanggaan pula. Serasa di kampung sendiri. Hihihi..
Singkat cerita, saya akhirnya jadi langganan beli beras di tempat ini. Bisa ditebak kenapa. Karena penjualnya memilihkan beras terbaik dengan harga yang lebih murah. Apalagi saya suka beli beras untuk stok 1 bulan. Kalau beli di tempat ini, pasti diberi diskon. Komplet kan? Kualitas oke, harga oke, dapat diskon pula karena beli banyak. Kebahagiaan buat ibu-ibu seperti saya. Hehehehe..

---

Aro pabbalu were’!” = “Di sana ada penjual beras!”
Matebbe’ kessi’kessi’na di’?” = “Banyak pasir-pasirnya ya?”
Iyya di’?” = “Iya ya?”
Tapileini laingnge” = “Ada pilihan lain nih..”




4 comments:

  1. Sejujurnya, sebenarnya, sesungguhnya (#halah), saya.......ndak bisa berbahasa bugis :|. Merasa gagal sebagai penerus bangsa yang (katanya) berbudaya ini :'

    ReplyDelete
  2. Ahahaha untungnya bukan ji calla2 kasar di'. Masih wajar koq kalo megomentari pasirnya. Tapi malu juga karena tertangkap basah sama pengguna bahasa yang sama :D

    Enaknya kalo bisa ki' bhs Bugis. Saya masih belajar ini. Sy cuma mengerti sedikit krn bapak ji yang Bugis (Soppeng - Wajo), Ibu dari Gorontalo.

    Suamiku Bugis (Pinrang-Sidrap yang besar di Pare). Alhamdulillah sy sudah dengar logat2 Bugis yang ternyata beragam

    *Loh malah curhat ^_^*

    ReplyDelete
  3. Hmmm ...
    Indonesia memang banyak budaya dan bahasa

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar ke blog ini. Pastikan mengisi kolom nama dan url blog agar saya bisa berkunjung balik ke blog teman-teman semua :)

Oiya, diharapkan tidak mencantumkan link hidup di dalam kolom komentar ya. Jika terdapat link hidup dalam komentarnya, mohon maaf akan saya hapus. Harap maklum.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...